Sulit sekali menemukan kalimat yang pas untuk menjelaskan perasaanku. Padahal aku sudah berusaha untuk menulis nya berulang kali, meskipun kemudian malah ku hapus lagi. aku ingin berhati-hati menyampaikan semua ini, agar isinya tidak terlalu berlebihan.
akhir-akhir ini aku sedang semangat menulis, setiap hari rasanya ingin sekali berbagi di blog, cerita apa saja, bahkan hal-hal yang nggak penting sekalipun. i think, i don't need to talk to, i just need to post. bukan kah begitu cara kita berkomunikasi? kalau kata teman ku ini romantis, tapi tidak semanis itu ternyata.
menerka-nerka bukanlah kemampuan ku. kadang aku melambung setelah membaca tulisan mu, sedetik kemudian terhempas lagi ke tanah karena sadar aku begitu kecil. dulu kata mu perasaan bisa kadaluarsa. menurut ku ini hanya masalah ruang dan waktu. Mungkinkah kisah ini masih menyisakan lembaran kosong? atau memang belum diselesaikan? sama hal nya dengan perasaan yang entah bagaimana nasibnya dulu.
Jarak 4 tahun bukan lah waktu yang sebentar untuk tidak intens berkomunikasi. meskipun kita masih saling menyapa, tapi kita sama-sama bertemu orang baru, mengenal mereka lebih dalam bahkan, hingga akhirnya cerita ini memutar balik alurnya.
Kita bukan lagi anak remaja yang baru lulus sekolah. Dewasa ini logika lebih berperan ketimbang perasaan. Ada banyak variable yang harus kita jabarkan terlebih dahulu untuk bisa mengambil sebuah kesimpulan. Maka aku tidak ingin terburu-buru dalam menanggapi perasaan. Dari dulu pun aku sudah memikirkan bagaimana harus menyikapi sebuah rasa, walaupun akhirnya aku pernah terlena oleh janji, lalu menghancurkan prinsip, pun merasakan kepayahan setelahnya. ah begitulah sedikit kisah masa remaja ku.
Sebuah kejelasan dan komitmen itu sangat penting bagi kami, perempuan. Tapi aku sadar, Tuhan lah yang memainkan pena, sedangkan kita hanya bisa menerka-nerka. jadi, tidak ada langkah lain kecuali bersabar. bukan begitu maksud mu? hati ku terhimpit rasanya.
aku tidak menyalahkan mu, pun tidak meminta mu untuk berjanji. selama ini, kita terlalu sibuk memikirkan pertanyaan "pada siapakah hati berlabuh?" padahal kita sudah tahu jawabannya, bahkan sejak dulu sekali, hanya saja kita selalu memungkiri. bukan begitu? aku hanya ingin mempertegas saja. masihkah kita merelekan hati untuk berlayar mencari pelabuhannya? atau membiarkannya terombang-ambing dalam lautan pertanyaan?
terimakasih untuk tidak berjanji, terimakasih untuk tidak menggangu, terimakasih karena sudah membuat ku semangat menulis lagi, dan terimakasih untuk semuanya. tulisan ini mungkin akan ku hapus suatu hari nanti.
ini lembaran ku dan itu lembaran mu, entah kapan coretan Tuhan akan mempersatukan atau bahkan memisahkannya (lagi).
Maaf kan untuk kemelow-an postingan belakangan ini~
Comments
Post a Comment