"Dewasa dong nda" kalimat ini sudah berapa kali aku dengar dari orang yang berbeda-beda. Entahlah berapa banyak mulut yang mengucapkannya. Mereka benar, aku sering sekali merasa belum dewasa. Seperti kebiasaan foto-foto selfi dan narsis yang sampai sekarang sulit rasanya untuk dipisahkan, atau suaraku yang cempreng, teriakan ku yang diprotes, cara bicaraku yang "agak" keanak-anakan. Tapi apa iya dewasa itu hanya dari hal-hal tersebut??
Beberapa hari ini aku mengambil kesimpulan, seorang pendiam dan tidak banyak omong biasanya akan sangat mudah untuk dianggap dewasa oleh orang sekitarnya. Padahal menurut ku dewasa itu terbagi menjadi dua haha... yang pertama dewasa perilaku dan kedua dewasa pemikiran. Seseorang yang pantas dianggap dewasa adalah yang bisa menyeimbangi keduanya, haha sebenarnya ini hanya presepsiku. Karna aku menemukan seseorang dengan pemikiran yang jauh lebih dewasa dari perilakunya.
Kali ini aku merasa dewasa itu penting sekali!! Aku seorang guru, aku memiliki banyak anak murid, tapi aku belum benar-benar bisa melakoninya. Seorang guru identik dengan kedewasaannya bukan? Aku masih sangat "lincah" untuk gadis berumur 20. Bagiku anak-anak adalah sahabat, dimana ketika mereka mengeluh aku mendengarkan, dimana ketika mereka menyebalkan aku protes, dimana ketika kami bahagia, lalu tertawa bersama.
Kemarin aku kesal dengan anak-anak. Mereka tidak mengerjakan tugas dan berbohong belum lagi suara celetak-celetuk yang membuat bising kelas. Aku masih ingat salah satu kalimat yang membuatku marah "emangnya ada PR yah usth? Enggak ada usth" aku langsung naik pitam. Biasanya aku tidak semarah ini jika ada yang belum menyelesaikan tugas, kebohongan itu yang membuat ku kesal. Aku meletup-letup, suaraku memenuhi kelas. Anak-anak terlihat tegang. Aku menarik nafas, memilih setiap kata yang akan kulontarkan. Sampai akhirnya aku sadar marah itu tidak baik, sekalipun mereka yang salah.
Selesai berbicara panjang lebar dan menasehati mengenai banyak hal. Aku berfikir sejenak dan kembali menarik nafas. Satu ide muncul untuk membuat lelucon di tengah-tengah ketegangan ini. "Kalian tau?" Kataku setengah berteriak "sakitnya tuh disini" tanganku memegang dada, wajahku meringis dengan ekspresi yang sempurna. Refleks anak-anak tertawa, wajah-wajah tegang seperti habis di ambil kebahagiaannya oleh domentor lenyap karna akting ku tadi, seakan-Akan itu adalah mantra expectupatronoum untuk mengusir para domentor pencuri kebahagiaan. Aku menemukan lagi matahari di kelas ini.
Itulah salah satu kelakuan konyolku. Sekalipun aku belum bisa bersikap dewasa, setidaknya aku bisa bersahabat dengan mereka. Bahkan setelah itu mereka malah merasa semakin close dengan ku. Marah itu memang tidak pernah meninggalkan bekas baik sedikitpun. Maka dari itu anak-anak hanya boleh mendengar protes dariku, bukan amarahku. Untuk 1 h, 2 D, dan 2 e. Saya senang karna pernah menjadi wali kelas kalian. Keep n touch ya dear...
Comments
Post a Comment